06/01/09

Nasib Warga Perbatasan


Mengunjungi Sebatik, Perbatasan Indonesia-Malaysia (bagian-1)
Pusat Sibuk Kunjungan, Hasil Bumi Dibawa ke Malaysia 

Jangan salahkan warga yang tinggal di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia seperti di Sebatik misalnya, lebih memilih menjual hasil buminya ke Tawau-Malaysia, ketimbang di negaranya sendiri. 

Rustam Hamdani-Sebatik

Mulai dari kakao, pisang, bahkan padi pun di drop untuk dijual ke Tawau, Malaysia. Tak perduli, meski akhirnya harga pun di monopoli para cukong-cukong Malaysia. 
“Ya, memang warga di sini (Aji Kuning) rata-rata menjual seluruh hasil pertanian, perkebunan dan semua jenis barang yang bisa dijual ke Tawau, Malaysia. Lebih laku lah. Dan mau tak mau itu tetap harus dilakukan. Memangnya di Indonesia (Kabupaten Nunukan, Red) terdapat pabrik atau pengusaha yang mau membeli atau menampung hasil pertanian warga,” kata Mansur, ketua RT 04 Desa Aji Kuning, Sebatik Barat.
Seperti diketahui, pulau Sebatik selalu menjadi sorotan, terutama pada awal 2005, ketika Malaysia berani mengklaim Blok Ambalat yang berjarak hanya beberapa mil dari pulau yang dibagi dua negara itu. Ketegangan saat ini memang sudah mereda. 
Tapi, yang tersisa justru lebih menyedihkan. Ketimpangan ekonomi kini menjadi persoalan baru, Sebatik yang merupakan wajah bangsa ini jauh lebih memprihatinkan. Tengok saja, di sepanjang kawasan perbatasan yang ditandai dengan pilar, pos perbatasan, pepohonan maupun pagar pembatas ini. 
Bangunan rumah warga masih terkesan kumuh, jalanan boleh dikata hanya sebagian mulus, selebihnya seperti jalanan “dangdut”. 
Pedagang kecil juga harus rela berbagi jalan dengan pejalan kaki maupun pengendara sepeda motor. 
Sementara, Tawau (wajah Malaysia) terlihat seperti kota megapolitan. Gedung-gedung menjulang tinggi, jalanan tak ada yang tidak mulus, padat arus kendaraan menandai roda perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya jauh lebih baik.
Kendati demikian, perbedaan itu tak dapat melunturkan semangat warga Sebatik khususnya dalam mempertahankan kedaulatan NKRI. 
“Itu yang tak dimiliki warga di luar sana,” sahut Junaidi, Camat Sebatik Barat yang menyertai kunjungan Radar Tarakan, belum lama ini. 
Diakui memang, seringnya pejabat negara bahkan setingkat menteri berkunjung ke Sebatik, hingga kini masih menjadi pertanyaan sekaligus keluhan warga setempat. Kok bisa? Ya, jawabannya singkat, apa hasil dan tindaklanjut dalam agenda kunjungan pejabat itu.
“Warga di sini sudah bosan dikunjungi pejabat pusat, tapi tak ada solusi, tak ada tindaklanjut mau diapakan pembangunan di Sebatik ini. Tak ada kemajuan. Indonesia juga yang rugi, hasil bumi berupa pertanian, perkebunan semua dibawa ke Malaysia untuk dijual. Secara tidak langsung, kami-kami ini sudah menjadi warga Malaysia,” kata Mansyur sedikit risau. 
Saran Mansyur yang mengaku setiap sepekan sekali membawa pisang untuk dijual ke Malaysia ini, sebaiknya pemerintah Indonesia, sesegera mungkin membangun infrastruktur yang memadai, contohnya pabrik sawit, pabrik kakao, dan sarana penunjang lainnya. Tentu tak hanya membangun saja, dituntut pula mampu mengakomodir seluruh hasil pertanian dan perkebunan.
“Pemerintah tak menyadari, semestinya sengketa Blok Ambalat itu menjadi pelajaran.
Tapi, sampai saat ini tak juga ada program nyata untuk membangun infrastruktur. Yang berbeda hanya pada saat peringatan upacara 17 Agustus di lapangan sepak bola, Sungai Nyamuk. Agustus lalu, bahkan yang menjadi inspektur upacara adalah Adhyaksa Dault, menteri negara pemuda dan olahraga. 
Akhirnya, yang tampak justru warga berbondong-bondong menyaksikan pejabat pusat menjadi inspektur upacara. Ribuan warga dikerahkan hanya untuk mengikuti upacara. (**)





Tidak ada komentar: