12/01/09

nasib warga perbatasan


Mengunjungi Sebatik, Perbatasan Indonesia-Malaysia----sub (bagian-2)
Channel Siaran TV Malaysia, Ringgit Lebih Populer 

Penggunaan dua mata uang yakni Ringgit dan Rupiah bukan hal tabu bagi masyarakat di Kecamatan Sebatik. Tak terkecuali, siaran televisi pun serba Malaysia.

Rustam Hamdani-Sebatik

Dari kejauhan terdengar suara tayangan acara pentas musik berbahasa melayu, televisi berukuran 21 inchi seakan menyihir beberapa warga untuk menyaksikan penampilan salah satu grup band negeri Jiran. Sempat tegang pula ketika tayangan film action yang disadur berbahasa melayu menjadi tontonan menarik.
Seperti itulah suasana kehidupan warga Sebatik yang menganggap bahwa siara televisi Malaysia ternyata lebih berbobot dibanding siaran televisi swasta di Indonesia. 
Untuk mendapatkan siaran TV Malaysia pun mudah, tak perlu antena canggih, cukup dengan perlatan antena biasa ditambah embel-embel tutup panci. Sementera, untuk mendapatkan siaran TV seperti RCTI, SCTV maupun channel lainnya wajib menjadi pelanggan TV kabel. 
“Lebih mudah mendapat siaran TV Malaysia daripada di Indonesia,” kata Syuaib (62) warga Desa Aji Kuning yang telah puluhan tahun tinggal di kawasan perbatasan Malaysia.
Syuaib adalah salah satu dari 300 kepala keluarga (KK) yang tinggal di atas garis perbatasan, bahkan telah melenceng masuk wilayah Malaysia. 
“Tapi, kami ini siap saja jika pemerintah Malaysia menyuruh untuk angkat kaki. Kami ini hanya menumpang saja,” ungkap pria yang memiliki 3 anak ini. 
Untuk diketahui, wilayah Sebatik Indonesia terbagi menjadi dua kecamatan. Yaitu, Sebatik Induk dan Sebatik Barat, yang masing-masing menaungi empat desa. 
Desa-desa yang masuk Sebatik Induk adalah Tanjung Karang, Tanjung Aru, Sungai Nyamuk, dan Sungai Pancang. Sedangkan desa-desa yang berada di naungan Sebatik Barat adalah Aji Kuning, Binalawan, Setabu, dan Liyangbunyu. 
Beberapa patok perbatasan yang berada di Sebatik adalah patok tiga di Dusun Abadi, Desa Aji Kuning, dan patok satu berada di Pangkalan TNI-AL di Sungai Pancang. 
Melihat kondisi yang terjadi di dua kecamatan ini, tentu saja sungguh memprihatinkan. Jika dibiarkan, justru yang dikhawatirkan adalah warga Sebatik susah melepaskan ketergantungan dari Tawau. 
“Kami sudah lama menggunakan dua mata uang Ringgit dan Rupiah saat bertransaksi. Baik itu jual beli bahan makanan, elektronik maupun produk-produk lainnya,” ungkap Mansur ketua RT 04 Desa Aji Kuning, Sebatik Barat. 
Tak hanya transaksi jual beli barang, jika ada warga Sebatik Barat yang sedang sakit parah, mau tak mau pelayanan kesehatan memadai yang bisa dijangkau adalah rumah sakit Tawau. Namun untuk berobat ke sana harus melewati prosedur. Rekomendasi dan rujukan dari puskesmas atau rumah sakit setempat (Sebatik) barulah rumah sakit Tawau mau menerima pasien dari Sebatik.
“Kebanyakan warga kita berobat ke Tawau, tapi jika itu parah. Dan syaratnya harus mendapat rujukan dari puskesmas di Sebatik atau Nunukan,” ungkap Junaidi, Camat Sebatik Barat. (**) 

Tidak ada komentar: